BAB II
PEMBAHASAN
Agama
adalah suatu kebaktian kepada Tuhan atau “dunia atas” dalam aspek yang resmi,
yuridis, pereturan-peraturan dan hukum-hukumnya serta keseluruhan organisasi
tafsir Al-Kitab dan sebagianya yang melingkupi segi-segi kemasyarakatan. (Y.B.
Mangunwijaya)[1]
Dalam
masyarakat Indonesia selain dari kata agama, dikenal juga Din dari
bahasa Arab dan kata religi dalam bahasa Eropa. Sedangkan dalam Bahasa
sangsekerta, Agama berasal dari dua komponen “a” yang berarti “tidak”
dan “gam” yang berarti “pergi”. Kata baru yang terbentuk ini
selanjutnya diarahkan untuk mendefiniskan bahwa agama merupakan sebuah entitas
yang memiliki sifat tidak pergi, tetap ditempat, dan diwarisi secara turun
temurun. Harun Nasution mendefinisikan dengan mengacu pada sudut pandang proses
transmisi dan transfer ajaran agama dari generasi ke generasi. bahwa agama
memang memiliki sifat demikian[2].
Dikatakan
bahwa term agama juga bisa bermakna teks atau kitab suci. Hal ini merujuk bahwa
masing-masing agama memiliki kitab suci sebagai acuan ajarannya. Lebih lanjut,
kata “gam” sendiri sebagai unsur atau akar kata pembentuk “agama” juga bermakna
tuntunan.[3]
Dengan pemahaman yang terbentuk dari berbagai istilah terkait “agama”
diatas, dapat diambil suatu kesimpulan
bahwa agama adalah ajaran yang berasal dari Tuhan atau hasil renungan manusia
yang terkandung dalam kitab suci yang turun-temurun diwariskan oleh generasi
kegenarasi dengan tujuan untuk memberi tuntunan dan pedoman hidup bagi manusia
agar mencapai kebehagian dunia dan akhirat, yang di dalamnya mencakup unsur
kepercayaan kepada kekuatan gaib yang selanjutnya menimbulkan respon emosional
bahwa kebahagiaan hidup tersebut bergantung pada adanya hubungan yang baik
dengan kekuatan gaib tersebut. Dan Agama tidak akan lepas dari lima aspek berikut :
1. Aspek asal-usulnya, yaitu ada yang
berasal dari Tuhan seperti agama samawi, daan ada yang berasal dari pemikiran
manusia seperti agama ardliatau agama kebudayaan.
2. Aspek tujuannya, yaitu untuk memberikan tuntunan hidup agar bahagia dan di
akhirat.
3. Aspek ruang lingkupnya, yaitu keyakinan akan adanya kekuatan gaib, keyakinan
manusia bahwa kesejahteraannya di dunia ini dan hidupnya di akhirat tergantung
pada adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib, respon, yang bersifat
emosional, dan adanya yang di anggap suci.
4. Aspek pemasyarakatanya,yaitu disampaikan secara turun-temurun dan
diwariskan dari generasi ke generasi yang lain.
5. Aspek sumbernya,yaitu aspeknya kitab suci.
Oleh karena itu, suatu kajian tentang cara memperoleh sesuatu dalam prosedur-prosedur,
tujuan dari sesuatu itu sendiri, dan dibicarakan pula tentang jalan yang harus
dilakukan. Atau disebut metodologi.
Dilihat dari sisi unsur-unsurnya, metodologi penelitian mencakup konsep, komponen
suatu pernyataan mengenai hakikat sesuatu, proposisi, pernyataan-pernyataan
yang dengan pernyataan itu konsep-konsep dikaitkan kedalam hubungan yang
melukiskan realitas, teori-teori, kumpulan proposisi yang menjelaskan tentang
hubungn-hubungan tersebut.
Para pengkaji agama tampaknya menggunakan berbagai pendekatan sesuai dengan
keyakinannya masing-masing, baik keyakinan itu karena pengaruh upaya ingin
memurnikan ajaran agama sesuai dengan ajaran yang sesuai dengan ajaran yang
diajarkan oleh pembawa aslinya, maupun keyakinan karena upaya ingin menjadikan
ajaran agamanya aktual dalam masyarakat, atau dengan istilah lainajaran
agamanya menjadi kontekstual secara konseptual didalam sosiokultural.
Ajaran agama yang secara idealnya adalah petunjuk bagi umat manusia, secara
ideal pula, harus mengikuti perkembangan kehidupan manusia itu sendiri. sebab
apabila ajaran agama tidak mengikuti perkembangan kehidupan manusia, ajaran agama
itu tidak akan menjadi petunjuk bagi manusia. atau dengan istilah lain agama
itu ditinggalkan oleh manusia. oleh sebab itu, para pemikir yang prihatin
terhadap ditinggalkannya beberapa ajaran agama oleh para umatnya, sangat
berkeras hati untuk selalu mengontestualkan ajaran agamanya, agar ajaran
agamanya selalu mendampingi umat manusia didalam kehidupannuya dan menjadi
petunjuk umat manusia selamanya. Berikut penjelasan peranan intuisi dalam
membentuk karakter agama:
I.
Pengertian intuisi
Intusisi adalah kemapuan memahami sesuatu tanpa melalui
penalaran,rasional dan intelektualitas. Sedangkan dalam kamus besar bahasa
indonesia (KBBI), intuisi adalah daya atau kemampuan mengetahui atau memahami
sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari,
bisikan hati, gerak hati.
Dalam pendekatan
(metode) intuisi orang menentukan
pendapat mengenai sesuatu berdasarkan pengetahuan yang langsung atau di dapat
dengan cepat melalui proses yang tak disadari atau yang tidak dapat difikirkan
lebih dahulu.
Sudarto menganggap bahwa metode intuisi menggunakan perenungan
(kontemplasi), sedangkan menurut sumadi, tidak. Konsekuensinya hasil karya
pendekatan intuisi menurut sumadi sebagai hal yang sukar dipercaya. Namun
menurut sudarto, menganggap bahwa metode intuisi menggunakan kegiatan
perenungan yang mendalam, maka metode ini bukan ispirasional atau anti
intelektyalitas, melainkan supra intelektual dengan filsafatnya sebagai
filsafat spiritual. Jadi, metode intuisi menjadi penyempurna metode ilmiah.
Menurut ukas cukasah, bahwa metode intuisi merupakan pendahulu dari pola pikir
analitik karena sebelum seseorang melakukan kegiatan analitiknya untuk mengkaji
sesuatu objek. Biasanya melakukan perenunganmencari ilham (intuisi) untuk
memberikan jalan, setelah ditemukannya ilham itu, barulah seorang pengkaji
merealisasikan ilham itu dalam bentuk kegiatan analitiknya.
Memang dimaklumi bahwa metode ini karena cara-caranya yang tidak
sesuai dengan cara-cara yang dilakukan oleh kebiasaan kegiatan ilmiah. Maka
sulit untuk dikatakan bahwa metode ini termasuk metode ilmiah. Akan tetapi,
sebenarnya terdapat dalam kegiatan ilmiah yang proses kegiatannya tampak
seperti tidak ilmiah. Antara lain, kegiatan ilmiah yang objek kajiannya buka
diluar subjek, tetapi kali ini kegiatan ilmiah itu objeknya berada di dalam
subjek atau bisa di sebut dengan objeknya subjektif atau objeknya internal, bukan
objeknya objektif dan eksternal, seperti rasa haus, lapara, dan sakit. Objek
kajian semacam ini jelas berada didalam pengkajiannya sendiri, secara iman
tidak transitif. Dan itu diakui
keberadaannya oleh setiap orang. Para ilmuwan menyebut ilmu sermacam sebagai
ilmu hudluri, karena objeknya hadir dalam pengkajiannya sendiri.
Jadi metode intuisi pada dasarnya sebagai sebuah metode yang diakui
keberadaannya, tetapi mempunyai beberapa kelemahan. Ukas Cukasah mengatakan
minimal ada dua kesulitan dalam menyampaikan kebenaran hasil kegiatan melalui
pendekatan intuisi.
1.
Metode
intuisi sulit diandalkan, karena dalam keadaan yang sama dan pola tertentu, untuk
dapat memperoleh intuisi telah dilakukan seseorang, tetapi belum tentu intuisi
ini dapat di peroleh.
2.
Intuisi
dalam keadaan tertentu memberikan informasi kebenaran, tetapi kebenarannya
tidak memberi kepastian. Oleh sebab itu, apabila seseorang telah memperoleh
intuisi, seyogianya dapat segera diuji kebenarannya secara ilmiah.
Dalam upaya memperoleh intuisi dari Tuhan. Ajaran mistisisme menggunakan
tiga fakultas yang ada dalam jiwanya, pertama,
Fakultas kalbu, kalbu digunakan oleh pengikut ajaran mistisisme sebagai
sarana untuk dapat mengetahui Tuhan. Kedua, Fakultas Roh, roh digunakan
oleh seorang sufi sebagai sarana untuk mencintai Allah swt. Ketiga, Fakultas
sir, sir digunakan oleh seorang sufi sebagai sarana untuk merenungi Tuhan. Adapun
secara globalnya, metode intuisi dalam agama islam ada dua kategori besar,
metode intuisi praktis, dan metode intuisi teoritik.
1.
Metode
intuisi praktis
Metode Intuisi Praktis adalah cara mengkaji Islam melalui
pendekatan intuisi secara praktis dengan melakukan latihan – latihan rohani
yang berbentuk makam – makam, seperti tersebut diatas sehingga memperoleh hal
dan berada dalam tamkin tertentu. Adapun setelah seseorang melakukan kegiatan
latihan rohani itu memperoleh intuisi atau tidak, itu tidak dijadikan masalah.
Sebab, terkadang seseorang melakukan suatu latihan rohani dalam satu makam
tidak pernah beranjak ke makam lain sampai bertahun – tahun, sementara orang
lain dapat melakukan suatu latihan dalam satu waktu tertentu sekaligus
melampaui beberapa tingkat makam.[4] Jadi, perolehan intuisi untuk dijadikan bahan
kajian bagi seorang Sufi sangat relatif karena sangat bergantung pada kemampuan Sufi
yang bersangkutan sehingga ia dapat mencapai akhir bagi suatu makam atau tidak.
Secara historis, menurut al- Taftazani,[5]
bahwa tasawuf yang dilakukan oleh para Sufi sejak awal – awal abad I dan II
hijriah merupakan bentuk pengalaman ajaran Islam secara Ihsan yang bersifat
individualis. Para person itu biasa dikenal dengan istilah nasik, abid, dan
zahid. Dan kehidupan secara zuhud atau asketisisme ini merupakan awal adanya
Sufi dengan tasawufnya. Zuhud seperti dikatakan oleh al – Kalabadzi dengan
mengutip perkataan al- Junaid mengatakan:
الزهد خلو الايدى من الاملاك والقلوب من التتبع
“Zuhud
adalah mengosongkan tangan, kepemilikan, dan hati dari sikap ikut – ikutan.”
Dan Yahya mengatakan.
الزهد
ترك البد
“Zuhud berarti juga meninggalkan sifat kikir.”
Jadi, kehidupan zuhud atau asketisme bukanlah kependetaan atau
terputusnya kehidupan duniawi, melainkan sebuah pandangan bahwa kehidupan
duniawi tidak menguasai kecenderungan kalbu sehingga melupakan Tuhannya. Zuhud juga
tidak mensyaratkan miskin, sebab sahabat Utsman ibn Affan r.a. adalah orang
kaya, tetapi zuhud. Dengan isltilah yang lebih mudah, zuhud adalah suatu metode
kehidupan dengan mengurangi kenikmatan lezatnya duniawi sehingga dapat
mengaktualkan nilai – nilai kebebasan atau kemerdekaan dirinya.
Dan pada awal abad I dan II hijriah di Madinah telah berkembang
gerakan zuhud.[6]
Diantara mereka adalah Abu Ubaidah al – Jarrah, Abu Dzal al-Ghiffari, Salman
al_farisi, Abdullah bin Mas’ud, Hudzaifah Ibn al-Yaman, Said bin Musyyad, Salim
bin Abdullah, Ja’far ash-shaddiq, dan Syafiq al-Balkhi. DiBasrah juga
berkembang gerakan zuhud, antara lain Al-Hasan al-Bisri, Malik biin dinar,
Rabbah bin Amru al-Qisyi, dan Shalih bin al-Murri. Dari beberapa para
asketisisme itu yang paling terkenal dan menonjol adalah Al- Hasan al-Bashri
dan Rabi’ah a-Adawiyah.
Al- Basri yang nama lengkapnya adalah Al-Hasan Ibn Abi al-Hasan Abu
Said, lahir pada 21 H wafat 110 H.
Ibunya adalah hamba Ummu Salamah (istri Nabi). Sikap asketis al-Basri ini
berlandaskan rasa takut kepada Allah dan mengharapkan ampunan-Nya (al-Khauf wa
al-Raja). Sementara itu, rabi’ah Al- Adawiyah yang nama lengkapnya adalah Ummu
Khair Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyah al-qisiyah lahir di Basrah 96 H wafat
185 H. Selama hidupnya ia menjadi seorang hamba sahaya. Sikap asketis Rabi’ah
dikenal dengan rasa cinta kepada Tuhan (al-Hub). Gerakan – gerakan asketisisme
itu berkembang pula di Kuffah, mesir, juga di Persia.
2.
Metode
atau Pendekatan Intuisi Teoritis
Maksud dari metode ini adalah cara mengkaji Islam melalui
pendekatan intuisi secara praktis dan melakukan latihan – latihan rohani dengan
bermacam – macam makam pula, (seperti pendekatan amali), tetapi dalam
pencapaian hal mereka melampaui batas amaliah sehingga mencapai ittihad atau
al- hulul, dan wuhdah al- wujud.
konsep tersebut, pada dasarnya hanyalah sebuah konsep yang dalam
amaliahnya tidak mungkin dapat dicapai. Sebab, tidak mungkin seorang hamba
(manusia) yang mempunyai hulul dengan tuhan yang bersifat nonfsik. Oleh sebab
itu, Ibn Taimiyah mengatakan,
قال
ابن تيميه فى ساىر كتبه ان الصوة بحق هو الذى يكون على مذهب اهل الحلول
والاتحاد
ووحدة الوجود
“Ibn taimiyah dalam berbagai karya – karyanya berpendapat bahwa
Sufi yang sebenarnya, yaitu Sufi yang sesuai dengan aliran ahli hadis,
al-Qur’an, dan Sunnah, serta bukan Sufi yang menurut aliran ahli al-hulul dan
al-Wihdah al_wujud.”
Dan
ia mengatakan juga:
(Ibn Taimiyah) benar- benar mencela pengikut al- hulul, bukan
karena para syeikh Sufi yang lain juga mencelanya, melainkan juga ia mencelanya
karena al-hulul juga dicela oleh para ahli hadis, ahli fikih, serta imam yang
enam. Munculnya aliran al-Hulul ditangan kelompok Sufi karena berafiliasi pada
tasawuf tertentu.
Adapun secara teoritis, dapat saja
seseorang mengonsepkan bahwa dirinya telah menyatu dan melanglang buana ke
angkasa secara lengkap tanpa bantuan siapapun, namun dalam realitanya hal
seperti itu secara empiris tidak mungkin terjadi. Jadi, kejadian berittihad
atau hulul, pada dasarnya adalah bersifat rohaniah dari pada bersifat jasadiah.
Sebab, kejadian yang bersifat rohaniah memungkinkan seseorang melakukan apa
saja yang tidak mungkin dilakukannya dalam kondisi berjasadiah.
Secara historis, menurut Ibrahim
Baisuni bahwa kondisi manusia dalam fana, bukan hanya terjadi pada Sufi,
semacam Abu Yazid al-Bustami, atau al-Hallaj, atau Ibn Arabi saja, melainkan
telah terjadi pula pada Nabi Muhammad saw. Ia mengatakan :
“ketika al-fana berkembang menjadi cinta, dan volumenya meningkat
dalam kondisi itu didalam diri seorang Sufi terdapat dua roh (Tuhan dan Sufi).
Kedua tahap itu setahap demi setahap saling mendekati, bahkan akhirnya menjadi
tunggal. Pada saat itu, roh itu bergerak menyebar dan bercabang, ia sulit untuk
dibahasakan dengan kata – kata, ia samar karena penguasaan seorang hamba
terhadap proses dan ta’birnya terus bergerak mendekat dan diam. Semuanya itu
terjadi karena kekuasaan Allah Swt. Ketika seorang hamba telah berusaha
menjauhkan diri dan bersembunyi dari realitas yang tampak, pada saat itu
seorang hamba mampu melihat apa yang tak terungkap dengan kata – kata, sesuatu
itu seakan – akan datang dari suatu lembah yang sangat dalam.
Menurut Dr. Musthafa Hilmi, yang mana mengutipkan kisah aneh dari
Rasulullah saw. Bahwa suatu ketika Rasulullah Saw dalam kondisi fana, Aisyah
lewat dihadapannya. Pada saat itu Rasulullah saw bertanya, siapa anda? Aisyah
mengatakan, “ia Aisyah” rasul bertanya lagi, siapa Aisyah?Aisyah mengatakan
bahwa ‘Aisyah itu putrinya Abu bakar al-Shiddiq. Lalu Rasul masih bertanya lagi
“siapa Abu Bakar al-shiddiq? Aisyah mengatakan bahwa al-Shiddiq itu sahabat
Muhammad saw. Namun, ketika nabi akan bertanya lagi tentang siapa Muhammad,
Aisyah terdiam karena Aisyah mengetahui bahwa pada saat itu nabi tampaknya
dalam kondisi tidak seperti biasanya.
Maka dari itu, Sufi filosofis atau Sufi teotertis atau Sufi
panteistis menurut Reynold Nicholoson sebagai Sufi panteistis mempunyai
legitimasi teologis yang kuat. Nicolson selanjutnya mengatakan “moslem asceticm
passed over into the pantheistic religius enthuasisme that forms the real
essence of later Sufis. The development
of Sufi pantheism comes much later than Hallaj and was chiefly due to ibn
Arabi. It would be a mistake to suppose that utterances like the subani.”glory
to me”, of bayazid the Ana al-Haqq” i’m a god”,of hallaj, and the Ana Hiya “I
am she “, of ibn i farid in themeselve evidence of pantheism.
Secara teoritis yang dimaksud dengan fana, yaitu sirnanya pandangan
seorang hamba terhadap tindakan – tindakan dan ketaatannya serta beradanya
seorang hamba dalam kebenaran Allah swt. Karena Allah menghendaki hal itu
terhadapnya.
II.
Kinerja pendektan intuisi dalam dalam membentuk karakteristik kajian agama
Untuk mengetahui mekanisme atau proses kerja akal dan intuisi dalam
menangkap pengetahuna beserta segi-segi penalarannya dapat menggunakan
informasi hasil-hasil kajian para psikolog modern tetang pemikiran kreatif yang
mereka namakan juga dengan ilham dan iluminasi
Menurut kajian para psikolog jenis ilham dalam pemikiran kreatif
sesungguhnya timbul dari akal seseorang ketika ia melakukan aktifitas intens.
Maksudnya ketika seseorang sedang berfikir dan mengabsraksikan suatu
permasalahan dalam waktu yang cukup lama dan belum menemukan jalan
pemecahannya, maka lazimnya seseorang akan mengendapkan permasalahan tersebut
dalam beberapa waktu.
Hal itu dimaksudkan untuk mengistirahatkan pikiran dan benak dengan
maksud pada saat yang lain ia akan kembali menggeluti lagi problema yang belum
terpecahkan.
Masa istirahat ini oleh para psikolog menyebutnya sebagai masa
inkubasi, dimana masa ini akan terjadi perubahan-perubahan penting dalam ruang
lingkup pemikiran seseorang. Pertama, pikiran akan lepas dari sebagian beban
penghambat yang dirasakan mengganjal dan menjadi penghalangnya. Kedua, pikiran
akan terbebas (sementaraa) dari perasaan kegagalan yang menimpa dan dirasakan
menghadang sehingga tidak dapat melanjutkan pemikirannya. Untuk itu setelah
istirahatdan kembali memikirkan permasalahan yang dihadapi , maka pikiran akan
lebih jernih dan segar setela sebelumnya megalami pengendoran. Ketiga, dalam
pikiran akan terjadi semacam pengorganisasian informasi-informasi yang membuat
makin jelasnya hubungan konsep-konsep atau ide-ide yang sebelumnya tidak
tampak. Demikian pula akan muncul pikiran-pikiran baru yang dapat membawa pada
jalan pemecahan permasalahan diatas. Dalam pandangan para psikolog pendukung
gagasan ini, ketika itulah terjadi semacam pemikiran tidak sadar mengenai
permasalahan yang di hadapi, namun sebagian aktifitas intelektul masih tetap
berlangsung kearah tertentu.
Uraian diatas sejalan dengan penjelasan Harold H. Titus dan
kawan-kawan, bahwa intuisi pasa dasarnya hanya merupakan hasil tumpukan pengalaman
dan pemikiran seseorang di masa lalu. Dan intuisi yang benar adalah proses
pemandekan/pemberhentian terhadap pengetahuan yang seharusnya diungkapkaan oleh
indera dan pemikiran reflektif. Dengan demikian intuisi adalah hasil induksi
dan deduksi di bawah sadar. Karena itu mereka yang mempunyai banyak pengalaman
dalam berfikir dan bekerja di lapangan tertentu akan lebih mudah memperoleh
intuisi yang baik dalam bidangnya. Maka dari itu, dalam karya-karya ilmiah
modern, term intuisi sering di pahami juga sebagai persepsi yang cepat,
imajinasi, pemikiran yang ringkasdan pertimbangan yang sehat. Itulah
sebabnya, pandangan ilmiah yang tajam dan cepat akan muncul dari mereka yang
bergelimang secara intens dan terus-menerusdengan problem ilmiah.
Inspirasisyair akan mudah dataang kepada mereka yang secara intensif bergulat
dalam dunia kepenyairan. Demikian juga intuisi filsafat, keagamaan, atau
sufistisakan cepat datang kepada mereka yang mengkhususkan waktu dan
perhatiannya yang total dalam bidang masing-masing.
Apabiladi analisa lebih lanjut baik penjelasan Harold H. Titus
maupun David Trueblood tentang syarat-syarat intuisi yang baik, maka proses
kerja intuisi harus senantiasa terinteraksi dengan rasio atau akal. Bahkan
tampaknya intuisi bukan metode yang aman untuk di pakai sendirian, sebab ia
akan mudah tersesat dan mendorong kepada pengakuan- pengakuan yang tak masuk
akal kecuali jika di cek dengan akal sehat. Lebih dari itu pendekatan intuisi
memerlukan konsep-konsep akal dan adanya pengalaman serta pemikiran sebelumnya.
Baru pada tingkat akumulasi pemikiran tertentu yang di dukung oleh
persyaratan-persyaratan lain sebagaimana di uraikan di atas, suatu pengetahuan
intuitif akan diperoleh .
Dengan demikian,intuisi dalam disiplin kajian agama intuisi tidak
lah berbeda. Mereka yang akan memperoleh pengetahuan tersebut adalah
orang-orang yang memiliki tingkat pemikiran yang tinggi serta disiplin dan
tetap terkonsentrasikan dalam bidangnya.
Khususnya dalam agama islam, dalam kasus Al-Ghazali dapat di
jadikan contoh, bahwa ia mengklaim telah memperoleh pengetahuan intuitifsetelah
mereguk hampir semua khasanah
inttelektual pada masanya. Melalui dasar pemikirna ini diharapkan intuisi sufi
dapat di pahami hakikatnya yang perspektif dan komulatif dari kal pikiran. Dengan cara ini intuisi
dapat disebarluaskan dan dipertanggungjawabkan berdasarkan akal pikiran yang
sehat bagaimana seharusnya.
Selanjutnya dapat di maklumi bahwa pengetahuan sufistik yang secara
bersumber dari pengetahuan intuitif sesungguhnya di bangun di atas dasar-dasar
ontology pemikiran rasional filosofis
yang kokoh. Kecuali itu, pengetahuan intuitif hakikatnya mempunyai akar yang
sama dengan pengetahuan rasional. Hanya saja keduanya melalui proses aktualitas
yang berbeda, sebab intuisi merupakan hasil induksi dan deduksi bawah sadar Karen tidak dapat di rumuskan dengan
premis dan konklusi, sedangkan pengetahuan rasional mempunyai struktur
diskursif yang dapat di rumuskan denga premis dan konklusi.
III.
Fungsi Intusi
Berbeda dengan tradisi intelektual Barat yang lebih banyak yang
didominasi paham rasionalismse dan empirisme, maka dalam tradisi intelektual
timur islam terdapat dua kecenderungan. Pertama, pengetahuan rasional yang bersumber
pada logika tradisional dan bersifat discorsif. Beberapa tokohnya
yakni Al-kindi, Al-farabi, Ibnu Sina dan seterusnya. Kedua, pengetahuan
intuitif yang bersumber pada intuisi, dzauq, dan ilham. Terdapat
banyak nama untuk janis pengetahuan ini, Al-Ghazali menyebutnya sebagai cahaya
kenabian. Ibn ‘Arabi menyebutnya dengan Al-ma’rifah. Filsafat intuisi,
menurut Hendri Bergson, dan seterusnya. Bahkan Ibn ‘Arabi memberi
sebutan-sebutan lain bagi ilmu pengetahuan intuitif, misalnya penetahuan illahi
(laduni), pengetahuan rahasia (ilmu asror), dan pengetahuan ghaib(ilmu
ghaib).
Pengetahuan
intuitif secara epistemology berasal dari intuisi. Ia diperoleh
menggunakan pengematan langsung, tidak mengenai objek lahir melainkan mengeni
kabenaran dan hakikat barang sesuatu. Para sufi menyebutnya sebagai rasa ang
mendalam(dzauq) yang bertalian dengan persepsi batin. Dengan demikian
pengetehuan intuitif sejenis pengetahuan yang dikaruniakan tuhan kepada
seseorang dan dipatrikan pada kalbunya sehingga tersingkap olehnya sebagian
rahasia dan tampak olehnya sebagian realitas. Perolehan pengetahuan ini bukan
dengan jalan penyimpulan logis sebagaimana pengetahuan rasional melainkan
dengan jalan keshalehan, sehingga seseorang memiliki kebeningan kalbu dan
wawasan spiritual yang prima.
Sebagaimana Ibn
‘Arabi, seorang filosof Perancis yang beraliran intuisionisme, Hendry Bergson
(1859-1941) juga membagi pengetahuan menjadi dua macam :”pengetehuan mengenai”
(knowledge about) dan “pengetahuan tentang”(knowledge of).
Pengetahuan pertama disebut pengetahuan diskursif atau simbolis, sedangkan
pengetahuan yang kedua disebut pengetahuan langsung atau pengetauan intuitif
karena diperoleh secara langsung. Atas dasar perbedaan tersebut Bergson
menjelaskan bahwa pengetahuan diskursif diperoleh melalui symbol-simbol ysng
mencoba menyatakan pada kita “mengenai” sesuatu dengan jalan berlaku sebagai
terjemahan bagi sesuatu itu. Sebaliknya pengetahuan intuitif adalah merupakan
pengetahuan langsung yang mutlak dan bukan pengetahuan yang nisbi atau lewat
perantara. Ia mengatasi sifat lahiriah pengetauan simbolis yang pada dasarnya
bersifat analisisdan memberikan pengetahuan tentang objek secara keseluruhan.
Maka dari itu, menurut Bergson intuisi adalah suatu sarana untuk mengatahui
secara langsung dan seketika.
Lebih lanjut
Bergson menyatakan bahwa intuisi sesungguhnya adalah naluri(instinc)
yang menjadi kesadaran diri dan menuntun kita kepada kehidupan dalam (batin).
Jika intuisi dapat meluas, maka ia dapat memberi petunjuk dalam hal-hal yang vital.
Jadi dengan intuisi kita dapat menemukan” elan vital” atau dorongan
vital dari dunia yang berasal dari dalam dan langsung bukan dengan intelek.
Dapat ditegaskan bahwa meskipun secara
epistemology,baik para sufi maupun sebagian filosof sama-sama mengaku intuisi
sebagai salah satu saran dan sumber pengetahuan. Namun antara keduanya
mempunyai sifat yang berbeda. Dikalangan para sufi yang dimaksud intuisi adalah
intuisi religious , sehingga pengetahuan atau kebenaran yang diperolehnya
secara teologis diyakini dari Allah dan oleh karenanya di yakini pula mempunyai
nilai kepastibenaran. Tentang hal ini l-Ghazali menjelaskan qalb sebagai
sarana pengetahuan mempunyai dua pintu atau alat penghubung, pertama pintu yang
meenghubungkan dengan alam malakut atau lauh al-mahfudz, dan
lewat pintu ini akan diperoleh pengetahuan ma’rifat (keilahan). Kedua pintu
yang menghubungkan ke alam realitas (alam syahadah) lewat indra yang darinya
dapat diperoleh pengeahuan empiric.
Berbeda dengan
intuisi religious , maka intuisi yang dimaksud selain para sufi adalah
pengertian filosofis antropologi sebagai organ yang secara instinctif dimiliki
manusia disamping akal dan indra, namun memiliki stuktur dan cara yang cara
kerja yang berbeda dengan keduanya.
Ibn ‘Arabi
menunjukan ciri-ciri pengetahuan intuitif yang membedakannya dengan pengetahuan
intelek, sebagai berikut:
1.
Pengetahuan
intuitif bersufat bawaan (innate) karena merupakan limpahan tuhan.
Pengetahuan intuitif mengejawantahkan dalam diri manusia dibawah
kondisi-kondisi mistik tertentu, seperti ketika batin seseorang dalam keadaan
bening dan bersih dari pengaruh fikiran.
2.
Pengetahuan
intuitif berada diluar sebab-sebab rasional an tak terjangkau ole akal pikiran.
3.
Pengetahuan
intuitif menyatakan diri dalam bentuk cahaya yang menyinari setiap hati sufi
ketika ia mencapai derajat penyucian (purifikasi) spiritual tertentu.
4.
Pengetahuan
intuitif menyetakan diri pada manusia tertentu, karena pengetahuan tersebut
sangat bergantung pada anugrah Tuhan.
5.
Tak
seperti pengetahuan intelek yang mengandung nilai kmungkinan atau spekulatif
maka pengetahuan intuitif bersifat pasti (certain), sebab merupkan
pemahaman yang langsung terhadap realitas tertentu.
6.
Pengetahuan
intuitif memiliki kemiripan dengan tuhan. Oleh karena itu, tak seorangpun akan
dapat memperolehnya, kecuali ia
benar-benar mencapai maqam (derajat) tertentu, dimana pengetauan itu
layak diilhamkan Tuhan kepadanya.
7.
Pengetahuan
intuitif merupakan pengetahuan yang sempurna tentang kodrat realitas yang
diperoleh seorang sufi. [7]
Metode intuisi dalam kajian agama sangat dibutuhkan, untuk
memeperkokoh landasan bagi peningkatan kualitas dan produktivitas
keilmuwan.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Setelah melihat pembahasan tentang objek kajian tersebut, dapat
disimpulkan bahwa, agama adalah ajaran
yang berasal dari Tuhan atau hasil renungan manusia yang terkandung dalam kitab
suci, bertujaun untuk mengatur jalannya kehidupan. Dan pendekatan intuisi
memiliki peranan didalamnya.
1.
Intuisi
adalah daya atau kemampuan mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipikirkan
atau dipelajari, bisikan hati, gerak hati. pendekatan intuisi dalam kajian
agama sangatlah diperlukan dimana untuk memahami teks atau aturan agama yang
sampai saat ini belum ditemukan teori untuk menerapkannya.
2. Induksi dan deduksi bawah sadar merupakan kinerja dalam intuisi. karena
itu, mereka yang mempunyai banyak pengalaman dalam berfikir dan bekerja di
lapangan tertentu akan lebih mudah memperoleh intuisi yang baik dalam bidangnya.
3.
Metode
intuisi dalam kajian agama sangat dibutuhkan, untuk memeperkokoh landasan bagi
peningkatan kualitas dan produktivitas keilmuwan.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Al-Taftazani,
Al-Ghanimi, Abu al-Wafa’, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi’
Utsmani, Bandung: Pustaka, 1997.
·
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta:
PTRajaGrafindo Persada, 2013.
·
Nasution, Harun,
Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta.
UI-Press, 1995.
·
Syukur, Amin. Intelektualitasme Tasawuf ,
Semarang: Pustaka Pelajar.2012
·
Rozak,
Abdul. Cara memahami Islam Metodologi Studi Islam, Bandung: Gema Media,
Pusakatama. 2001.
[1] Abdur Rozak, Cara Memahami Islam (Metodologi Studi
Islam), Bandung, Gema Media Pusakatama, 2001, hal. 41
[2] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai
Aspeknya jlid I, Jakarta, UIP,1985, hal. 1
[3] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta,
Rajawali Pres, 2013. hal . 9
[4]
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 2010, hal. 63
[5]Abu
al-Wafa’ Al-Ghanimi al-Taftazami, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad
Rofi’ Utsmani, Bandung: Pustaka, 1997, hal. 16-20
[6]
Ibid, hal.34
[7] M.
Syukur Amin, dan Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf, Semarang, Pustakaa Pelajar, 2012, hal. 71
Komentar
Posting Komentar